Sabtu,
21 November 2020 ~ Oleh Administrator ~ Dilihat 879 Kali
ANTARA TRADISI DAN POSTMODERN: PERAN SMK MEMBENTUK ESTETIKA VISUAL SEBAGAI IDENTITAS TRANSKULTURAL PESANTREN KONTEMPORER
Oleh: Yudha Prihantanto
Pengajar SMK Bayt Al Hikmah jurusan DKV
Email: yudhaqolby@gmail.com
Pendahuluan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Republika online, Indonesia merupakan negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia hingga mencapai sekitar 229 juta orang dimana angka tersebut mencapai 87,2 pesen dari total populasi di Tanah Air atau 13 persen dari total populasi muslim di seluruh dunia (inibaru.id.2020). Berarti indonesia juga merupakan Negara dengan jumlah pesantren terbesar di dunia. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Edisi 3, 2002:866) dalam bahasa Arab “Ma’had” atau Pesantren adalah asrama tempat santri atau murid – murid belajar ngaji (Hamid. 2017:46). Secara etimologi kata pondok berasal dari Bahasa Arab (funduq) yang berarti tempat bermalam atau penginapan, ruang tidur atau wisma sederhana bagi pelajar yang jauh dari tempat tinggalnya (Djaelani. 1982). Sementara definisi lain yang diungkapkan oleh Dhofir, Pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran –an yang berarti menunjukkan kata tempat untuk para santri (Dhofier, Z. 1982). Senada dengan ungkapan tersebut, Nur Kholis Majid menyatakan pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia (Madjid. 2002). Ahmad Taufiq selaku pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Bayt Al hikmah di salah satu amanat upacara menyampaikan “Pesantren merupakan miniatur suatu bangsa karena terdapat berbagai lapisan manusaia dari berbagai daerah, suku, bangsa dan budaya.
Pesantren merupakan tempat diselenggarakannya kegiatan belajar mengajar tidak hanya tentang religiusitas, tetapi seluruh aspek kehidupan yang tersistem dan terintegrasi. Pondok pesantren merupakan hasil usaha mandiri para Kiai yang dibantu santri dan masyarakat yang memiliki berbagai bentuk berdasarkan selera kiai dan keadaan sosial budaya maupun sosial geografis yang mengelilinginya (Hamid. 2017:47). Tradisi yang terbentuk di pesantren menjadi ciri khas tersendiri dengan istilah pesantren salafiyah dengan ciri-ciri; (1) menggunakan kitab klasik sebagai sumber pendidikan agama, (2) kurikulum hanya berbasis agama, (3) metode pengajaran yang individual (sorogan) dan klasikal (halaqoh, wetonan) (Indra: 2018:21). Dari segi terminologis pesantren merupakan lembaga pendidikan islam traditional untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari, pun dapat dikatakan lengkap apabila di dalamnya terdapat elemen – elemen seperti bangunan pondok, masjid, kyai, dan pengajaran kitab-kitab tradisional (Ali. 2017).
Tradisi dalam hal ini merupakan kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan dalam tradisi pesantren merupakan kebiasaan yang didalamnya terdapat nilai-nilai akulturasi keIslaman. Terjadinya pertemuan nilai-nilai akulturasi budaya tersebut terjalin dan terlaksana sedemikian rupa dengan tetap mengamal pedoman keIslaman. Konsep tradisi keIslaman dalam pandangan akulturasi menggambarkan pertemuan dua kutub yang berbeda. Dimana tradisi Islam merupakan ajaran yang berasal dari Tuhan kemudian mengalami proses pengidentifikasian diri terhadap kebudayaan Islam Timur Tengah (Ali. 2017)
Dewasa ini tradisi pesantren mengalami dinamika ditengah peradaban global dengan adanya pengaruh budaya popular. Produk-produk agama menjadi popular yang dapat dikemas secara ringkas-cepat sehingga mudah disajikan dan diterima oleh masyarakat tanpa adanya batasan kalangan dibandingkan cara tradisi atau ajaran dogmatis konvensional yang fanatik.
Media menjadi suatu sarana yang tepat untuk mempopulerkan segala kepentingan sebagai kebutuhan masyarakat. Stewart M. Hoovert dalam tulisannya “Religion in the Media Age” mengatakan bahwa, “Agama dan Budaya menjadi sesuatu yang seolah bertentangan” (Hoovert, S. M. 2006). Media massa-lah yang kemudian menjadikan agama sebagai bagian dari budaya yang menjadi populer. Pesantren kontemporer yang dimaksud merupakan metamorfosis dari pesantren tradisi atau salafiah yang memadukan nilai-nilai modernisasi yang populer tanpa meninggalkan esensi nilai tradisi keIslaman. Diantaranya memadukan bentuk pendidikan agama dengan pendidikan umum formal, dengan fasilitas dan bentuk-bentuk fisik yang lebih canggih dan popular sesuai perkembangan yang berlaku. Dimana sumber daya manusia dalam kalangan pesantren tersebut dituntut menerapkan metode dengan menggunakan tehnologi seperti metode pembelajaran plattform online (liputan6:2019).
Berangkat dari fenomana tersebutlah maka seni visual hadir sebagai budaya di kalangan pesantren modern. “Hidup dalam budaya manapun, berarti hidup dalam budaya visual” (Mitchel, 2005: 349). Senada dengan ungkapan tersebut, Soedarso (dalam Mikkes Susanto, 2002:102) juga menyatakan “Seni adalah karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman batin lalu disajikan secara indah atau menarik hingga merangsang timbulnya pengalaman batin pula pada manusia lain yang menikmati”. Untuk itu pengaruh visual tidak bisa lepas dan sangat berdampingan erat disegala elemen kehidupan. Ini merupakan potensi bagi santri untuk berekspresi secara visual di pesantren kontemporer sebagai upaya aktualisasi diri. “Kami berdiri di ambang perkembangan baru yang harus dilakukan olah pendidikan visual adalah untuk mengikuti perkembangan zaman” (Paul H. Vieth, 2006).
Pakar filsafat, Tolstoy dan Veron memandang seni sebagai ekspresi. Pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai menjadi muatan dalam karya seni yang bernuansa keindahan diakui sebagai wujud ekspresi (Melalatoa, 2001). Ekspresi visual merupakan sarana bagi santri yang berada di lingkungan pesantren untuk mengungkapkan gagasan, ide, pesan atas pengetahuan, keyakinan dan nilai – nilai budayanya.
METODE
Artikel ini menginterpretasikan data yang dikumpulkan dari hasil studi kasus eksploratoris dengan pendekatan estetika visual dan teori transkultural dengan mengambil sampel dari pesantren kontemporer yang sesuai dengan kebutuhan peneliti, yakni Pesantren Bayt Al Hikmah di Kota Pasuruan. Bagaimana suatu wilayah umum sepeti lingkungan sosial yang berkaitan dengan transisi rasial, komersial dan fenomena lain betul – betul berbeda dari bagaimana kelompok kecil berhubungan dengan fenomena – fenomena yang sama (Robet, 2006:32). Sebagaimana Donald Campbell (1975), yang mengaitkan beberapa informasi kasus adalah gagasan tentang ‘penjodohan pola’ sama dengan beberapa proposisi teoritis.
DISKUSI TEMUAN
Pendidikan SMK berbasis pesantren sebagai alternatif
Dalam sambutan Presiden RI seringkali berpesan agar pemerintah fokus menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas sehingga Indonesia bisa melakukan lompatan kemajuan dan mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain. Menurut prediksi, pada tahun 2040 Indonesia akan memiliki 195 juta penduduk usia produktif; dan 60 persen penduduk usia muda di tahun 2045 yang harus dikelola dengan baik agar menjadi bonus demografi demi terwujudnya Indonesia Emas pada 100 tahun kemerdekaan (Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Tim Komunikasi Pemerintah Kementerian Komunikasi dan Informatika, 17-05-2017)
Dikutip dari website Badan Pusat Statistik, saat ini tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 7,39 juta orang dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 118,19 juta orang. Dari data tersebut, sebanyak 1,33 juta orang pengangguran merupakan lulusan SMK (Badan Pusat Statistik, Februari 2020).
Melihat ketimpangan tersebut selanjutnya Presiden menginstruksikan (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016, Presiden menegaskan perlunya revitalisasi SMK untuk meningkatkan kualitas SDM. Inpres tersebut menugaskan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk membuat peta jalan pengembangan SMK; menyempurnakan dan menyelaraskan kurikulum SMK dengan kompetensi sesuai pengguna lulusan perombakan sistem pendidikan dan pelatihan vokasi, dan pemerintah harus melakukan reorientasi pendidikan dan pelatihan vokasi ke arah demand driven.
Kalau lembaga pendidikan terbesar dan tertua adalah pesantren, sebagaimana teruraikan diatas, maka pendidikan SMK berbasis pesantren menjadi alternatif sebagai solusi kongkret gejala peradaban. Dilansir dari setkab.go.id, Jokowi menjelaskan pada awal pemerintahannya di tahun 2017, pihaknya telah membangun 50 BLK Komunitas dan berkembang menjadi 75 BLK Komunitas pada tahun 2018. Pada tahun 2019 bertambah menjadi 1.000 BLK. Menurutnya BLK harus benar-benar berkembang dan menghasilkan sumber daya manusia yang baik khususnya di pondok pesantren. “Golnya harus ke sana. Kalau nanti 2000 ini bener-bener kita lihat berjalan semuanya, nanti akan lipat lagi menjadi 4000. Insyaallah tahun depannya lagi. Karena kita memiliki 29 ribu pondok pesantren di seluruh tanah air,” kata Jokowi. Jokowi mengatakan saat ini kompetisi antar Negara sudah sangat ketat sehingga SDM harus bersaing. Menyambut perkembangan tersebut juga didukung oleh Gubernur Jawa Timur, Khafifah Indar Parawansa, dengan menyelenggarakan progam One Pesantren One Product (POP) yang telah diikuti oleh 30 Pesantren di Jawa Timur (Republika Online:2019.
Sebuah keniscayaan jika pendidikan kejuruan berbasis pesantren merupakan agen peradaban Negara dengan produk SDM yang diimpikan. Pesantren kontemporer hari ini telah meleburkan diri pada budaya sosial membentuk estetika dengan menggabungkan pendidikan tradisi pesantren salaf dan pendidikan formal kejuruan sebagai solusi gejala sosial memenuhi kebutuhan masyarakat.
“Santri sekarang harus melek tehnologi, saatnya santri juga berperan aktif mengisi perkembangan tehnologi dengan berkontribusi memberi nilai-nilai keagamaan untuk menjaga kedaulatan Bangsa”, ungkapan Nailurrahman selaku Kepala Pesantren Bayt Al Hikmah disela pidato upacara hari santri, 2020.
Estetika
Seni dan estetika merupakan keterkaitan yang tak dapat dipisahkan. John Lechte menyatakan “Estetika atau Estetis pada umumnya dipakai sebagai sinonim seni” (Lechte. 2001). Estetika sering dikaitkan sebagai ilmu filsafat yang pembahasannya pada objek keindahan atau seni. Definisi yang mengatakan bahwa estetika merupakan kajian filsafat antara lain disampaikan oleh Barnes dan Noble dalam New American Encyclopedia, yaitu “Estetika adalah cabang filsafat yang membangun prinsip umum tentang seni dan keindahan” (Barnes dan Noble. 1991)
Rumusan Harold Titus (dalam Abdul Hadi. 2016) tentang tujuan pendekatan estetika yaitu: (1) Menentukan sikap yang mengaitkan keindahan yang terdapat dalam alam, kehidupan manusia dan seni; (2) Mencari pendekatan-pendekatan yang memadai dalam menjawab masalah objek pengamatan indera, khususnya karya seni yang menimbulkan pengaruh pada jiwa manusia, khususnya perenungan dan pemikiran manusia, serta perilaku dan perbuatan manusia; (3) Mencari pandangan yang menyeluruh tentang keindahan dan objek-objek yang memperlihatkan rasa keindahan; (4) Mengkaji yang berhubungan dengan bahasa dan penuturannya yang baik serta istilah-istilah dan konsep-konsep keindahan; (5) Mencari teori untuk menentukan dan menjawab tentang persoalan di sekitar karya seni dan objek-objek yang menerbitkan pengalaman indah.
Baumgarten, filsuf rasionalis Jerman, dalam bukunya “Aesthetica”, mengartikan estetika sebagai suatu pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang dapat diamati dan dapat merangsang indra khususnya karya seni (Balat, M. 1989). Jika demikian, maka estetika hanya mereduksi karya seni dan objek indah sebagai fenomena psikologi duniawi yang dapat dinilai secara subjektif semata. Sedangkan dalam pendapat lain estetika karya seni lebih tinggi nilainya daripada sekedar demikian. Seni merupakan pengalaman kerohanian dan kepuasan intelektual (Djelantik, A.A.M. 1999). Imam al-Ghazali menyatakan efek yang terkandung dalam jiwa sangat besar, dan karenanya dapat menentukan moral dan keagamaannya (Hadi. 2016:44). Untuk memahami itu para ahli memberi patokan sebagai berikut:
- Sempurna dilihat dari sudut bobot gagasan, konsep dan wawasan;
- Besarnya fungsi sebuah karya seni dalam kehidupan manusia;
3.Nilai-nilai yang ditawarkan dan relevansinya bagi perkembangan kebudayaan;
4.Kesesuaian karya seni dengan nilai-nilai kehidupan, kemanusiaan/kerohanian;
- Sempurna dari sudut kegunaan.
Estetika yang tercermin dari sebuah karya seni tentunya tidak lepas dari proses tahapan penciptaan. Junaedi (2015:133) mengemukakan pembagian proses penciptaan dalam tiga tahapan, yaitu:
- Pra Penciptaan. Tahapan ini meliputi proses pengalaman estetis seniman yang dapat dibangkitkan melalui berbagai sumber, antara lain: objek estetis natural maupun kultural dan objek estetis berwujud karya seni maupun non seni.
- Penciptaan. Pada tahap penciptaan meliputi persinggungan seniman dengan alat, material, dan teknik. Dalam tahapan ini juga meliputi komunikasi, ekspresi, dan imajinasi seniman.
- Pasca Penciptaan. Ini adalah tahap setelah karya seni selesai diciptakan, meliputi: presentasi karya seni dan interaksi seniman dalam dunia seni (art world).
Konsep budaya popular sebagai estetika identitas visual
Dalam satu dekade terahir kita terbiasa hidup dalam budaya media atau masyarakat media. Berbagai informasi dipenjuru dunia dengan mudah kita dapatkan. Maka muncul istilah dunia dalam genggaman. Dalam hal ini dapat dikatakan budaya adalah tentang keberadaan kolompok-kelompok sosial yang memberikan mereka identitas (Graeme, 2012:31). Sedangkan menurut gagasan Raymond Williams (1988,1989) yang berpengaruh yakni budaya dalam arti sempit atau spesifik (sebagai praktif ekspresi kreatif, estetis, dan intelektual) dan budaya dalam arti luas atau umum yaitu cara hidup keseluruhan (Idi, 2014:3). Menurut pandangan Arnold budaya pop merupakan budaya seni tinggi untuk mengatasi sifat anarkisme pada masyarakat karena pada saat itu di Eropa, bahkan hingga saat ini, institusi agama telah kehilangan otoritasnya di ranah publik (Fajar dkk, 2019:164). Budaya sebagai kesatuan sebuah system antara ide, nilai, kepercayaan, struktur, dan praktik yang dikomunikasikan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, dan yang menopang cara hidup tertentu (Agus. 2019:229). Budaya merupakan salah satu unsur penting dalam system sebagai tempat lahirnya komunikasi. Budaya membentuk bagaimana kita berkomunikasi, mengajarkan kita apakah memotong pembicaraan itu pantas, seberapa banyak kontak mata dianggap sopan. Untuk itu dalam temuan ini peneliti merujuk pada rumusan Paul Du Gay, 1997 (dalam Burton. 2012:33) sebagai berikut:

Gambar. 1. Pandangan konsep budaya popular. Sumber: DU Gay dkk, 1997

Gambar. 2. visual (poster) rasa popart. Sumber:Internet

Gambar. 3. Komunikasi visual (Mural) rasa popart. Sumber:Internet
Gambar diatas merupakan estetika visual yang memerlukan pembahasan panjang untuk dapat memahami maksud yang disampaikan antara gagasan, ide, pencipta dan kesesuaian pemahaman antara penglihat satu dan penglihat lain.
Berdasarkan rujukan diatas juga ditemukan sampel gambar sebagai estetika visual budaya popular yang di ekspresikan santri di pondok pesantren kontemporer sebagai berikut:

Gambar. 4. Ekspresi visual graviti pada ruang kelas. Dok. Pribadi.
Pada gambar.4. diatas tampak ekspresi visual santri yang diungkapkan pada dinding ruang kelas sebagai identitas karena adanya pengaruh dari budaya popular yaitu mural dengan gaya grafiti. Hal ini menunjukkan bahwa adanya temuan visual sebagai estetika ekspresi visual pada pesantren kontemporer yang tak hanya sebagai ruang belajar formal. Melainkan lebih jauh daripada itu pondok pesantren kontemporer memiliki kecenderungan memberi kebebasan lebih sebagai wahana alternatif dalam ruang kreatifitas. Tak hanya dalam ruang kelas, visual komunikasi juga terpampang jelas di tiap sudut-sudut ruang seperti gambar berikut:

Gambar. 5. Ekspresi visual dengan dengan media cetak sebagai sarana komunikasi yang ditempel pada dinding. Dok.Pribadi
Pada gambar.5. Diatas juga tampak ekspresi visual dengan menggunakan media cetak sebagai sarana komunikasi. Estetika semacam ini juga menggunakan pendekatan budaya popular sebagai sarana komunikasi secara visual untuk menyampaikan gagasan, himbauan. Maka pesantren kontemporer memiliki identitas estetika dalam berekspresi visual dengan mengikuti tren populer sebagai budaya untuk lebih bisa dinikmati dan diterima di masyarakat luas.
Komunikasi visual sebagai identitas transkultural
Pendekatan pendidikan transkultural memandang keragaman budaya sebagai realitas positif dan normatif, bukan sebagai negatif yang pasti mengarah pada masalah sosial yang menciptakan perpecahan. Menerima cara hidup orang transkultural terbiasa dengan keanekaragaman budaya, norma sosial, tanpa takut akan perbedaan itu adalah fungsi dari asumsi yang telah ditegaskan sebagai definisi budaya. Dampak disposisi transkultural adalah konsepsi perbedaan budaya dalam masyarakat sebagai fenomena alam, bukan sebagai titik perselisihan. Selain itu Onghena (2008), mengungkapkan bahwa pendekatan transkultural berusaha untuk mengenali dinamika antarbudaya dalam interaksi atau pertukaran budaya apapun. Dengan kata lain, transkulturalisme menekankan sifat transisi budaya serta kekuatannya untuk bertransformasi (Lewis, 2002).
Maka pendidikan pesantren yang terdapat dari berbagai kultur merupakan refleksi kebudayaan berbasis religiusitas sebagai identitas pesantren. Dalam hal ini dikomunikasikan secara visual sebagai alternatif pemilihan media di era digital. Sebagai sarana visual bertujuan untuk memberi identitas pada perorangan, produk maupun perusahaan sehingga mampu menjawab pertanyaan tentang apa, siapa, dimana, dan bagaimana hal yang dimaksud tersebut (Sugiyono, 2018:13).
Dengan demikian komunikasi secara visual di kalangan pesantren kontemporer merupakan inovasi sebagai sarana untuk tetap aktif dan memberikan kontribusi menyampaikan gagasan, himbauan, pesan (dakwah) di era digital yang berorientasi menerima perbedaan sebagai identitas pesantren.
Bahrul Ulum, selaku kepala SMK Bayt Al Hikmah menyampaikan (pada 17 November 2020) “di era digital seperti saat ini santri SMK yang berada di pondok pesantren perlu menguasai dan meningkatkan kemampuan untuk terus berkarya sebagai sarana untuk membuat konten-konten kreatif yang sifatnya visual islami. Selanjutnya pengurus pesantren, Alfan arifudin 23 Tahun (06 Oktober 2020) menyampaikan bahwa Pondok Pesantren Bayt Al hikmah aktif dalam penggunaan media digital sebagai sarana dakwah juga sebagai identitas pesantren di era modern seperti saat ini. Desain tersebut dipublikasikan dalam moment-moment penting seperti ucapan Hari-hari besar Nasional, ucapan bela sungkawa, promosi layanan masyarakat, juga kata-kata motivasi atau mutiara hikmah dari para figur – figur penting. Berikut merupakan karya desain dengan temuan estetika.

Gambar.6. Desain flyer karya Fauzan
Pada gambar.6. tersebut tampak konsep desain yang menggunakan latar belakang siluet bangunan masjid dan ornamen bergaya turki. Dimana ornamen bergaya turki tersebut dengan ciri-ciri simetris pada penempatan. Selain itu ornamen ditata hinnga membentuk pola semacam kubah masjid sebagai latar belakang (background). Dipadukan dengan ornamen mega mendung yang cenderung mengambil corak batik jawa. Penggunaan warnapun tampak sekali masih melekat identitas corak kepesantrenan yang cenderung patuh pada penggunaan warna hijau dan kuning. Seakan menjadi warna wajib bagi kebutuhan desain yang bernuansa islami yang sering kita jumpai dimanapun dalam konteks apapun sejak dulu kala. Hal tersebut membuktikan tradisi yang tak dapat dipisahkan dari ciri khas dunia kepesantrenan.

Gambar. 7. Desain flyer karya Zaini.
Pada gambar.7. merupakan desain flayer peringatan Hari Besar Nasional. Pada gambar 2 ini juga masih melekat nuansa corak arabian yang masih menggunakan keseimbangan simetris pada layout desain baik typography maupun objeknya. Kesimetrisan pada lay out tersebut tampak seperti membentuk pola bintang yang identik sebagai simbol agama. Layaknya kita jumpai pada ornamen-ornamen masjid atau kitab-kitab kebanyakan menggunakan konsep simetris.
SIMPULAN
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional dari berbagai latar belakang sosial budaya berbasis agama telah mengalami metamorfosis adanya budaya populer. Metamorfosis tersebut menjadikan motivasi pesantren kontemporer untuk terus berkembang. Adanya SMK di kalangan pesantren kontemporer merupakan alternatif solusi kongkret sebagai upaya menyiapkan SDM atas gejala peradaban dunia untuk memenuhi kebutuhan sosial. Sehingga kepatuhan terhadap nilai nilai tradisi telah melebur menjadi estetika visual sebagai identitas, meliputi: (1) SMK sebagai alternatif solusi kongkret gejala peradaban, (2) estetika ekspresi visual santri sebagai identitas di pesantren kontemporer, (4) estetika visual popular dengan menggunakan esensi nilai tradisi sebagai sarana komunikasi di kalangan pesantren kontemporer sebagai identitas Transkultural.